- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Percakapan istri saya dengan bapak sopir grabcar hari
minggu kemarin.
"Pak, masuk ke Sam Poo Kong bayar gak,
Pak?" tanya istri tercinta.
"Bayar, Mbak. Tapi saya lupa berapanya. Eh, ini weekend,
ya?" Bapaknya tetiba ingat kalau hari itu adalah hari Minggu.
"Iya, Pak. Hari Minggu. Kalau Minggu gini kira-kira
bayar berapa, ya?"
"Saya belum pernah sih, Mbak, kalo hari libur. Tapi
kalo hari biasa sekitar 7 ribu kalo gak salah. Soalnya kalau hari Selasa saya
pasti meluangkan waktu buat main sama anak saya."
"Kalo hari Minggu gini ramai ya, Pak?"
"Iya, Mbak, biasanya ramai. Tapi sekarang ini saya
bandingkan, nggak seramai dulu."
"Masa sih, Pak?" Istri saya menjawab sekenanya.
"Iya, Mbak. Dulu mah rame banget. Biasanya yang
wisataan dari Surabaya, Jakarta. Bahkan turis dari luar banyak yang main ke Sam
Poo Kong. Saya kalo narik ramai terus mangkal di sana dulu."
"Wah kok bisa ya, Pak?"
"Kayaknya faktor ekonomi, Mbak."
Istri menganggukkan kepala berusaha memahami kalimat
bapaknya.
"Iya, Pak. Wong semuanya sekarang serba mahal.
Hehehe." celetuk istri tercinta.
***
Setelah turun dan mencoba berdiskusi sama istri. Benar juga
kata bapaknya. Di Sam Poo Kong, biaya pertiket termurah 10 ribu, cuma boleh
akses di halaman depan saja. Sedangkan kalau mau masuk ke dalam dan ingin tau
sejarahnya, pertiket jadi 30 ribu (at least, ini yang saya lihat
kemarin).
Tidak aneh kalau minat warga terhadap wisata tahun ini
perlahan menurun. Mungkin banyak yang lebih mengutamakan kebutuhan ekonomi
daripada kebutuhan wisata.
Ah entah sih ya, banyak faktor sebenarnya. Setelah berbicara
banyak dengan pak sopirnya, ternyata beliau Sarjana Manajemen. Tak aneh jika
pemikirannya jauh ke arah sana, bisa dibilang kritis.
Komentar
Posting Komentar
Komentar anda sangatlah berarti bagi kami, silahkan berkomentar dengan bijak dan sopan. Komentar dengan mencantumkan Link aktif akan kami hapus.