Guyang dan Kenangan Baik dari Ayah

Menilai Kesucian Rasa Bakso

Saya dapat menilai aneka rasa dari bakso yang disajikan. Enak dan tidak enak, hanya itu penilaiannya!

Saya tidak begitu suka bakso, namun bukan berarti enggan makan bakso. Hanya saja semenjak mengenal Naily intensitas saya memakan bakso menjadi lebih tinggi. Baik sebelum nikah maupun setelah punya anak (otw dua), rasa nya jadi sering ngejajan bakso.

Dulu, saya sempat bertanya-tanya: kenapa sih "sepertinya" hampir setiap wanita menyukai bakso? Padahal bakso itu nggak enak-enak banget. Memang sih, perkara rasa nggak bisa digeneralisir, semuanya hanya tentang selera. Btw, selera kita berbeda mbak.

Jika harus memilih, pastilah siomay Bandung dan batagor masih selalu di hati. Berikut saudara-saudaranya yang berbumbu kacang. Kalau main ke Blora kota kelahiran Naily sudah pasti nasi pecel akan menjadi pilihan, ketimbang bakso.

Namun, selaku lelaki yang sedang berjuang menjadi baik di mata Naily dan Tuhannya, saya akan senantiasa semangat kalau diajak ngejajan bakso.

Semenjak mengenalnya, sudah tak terhitung berapa puluh tukang bakso yang kami sowani. Kami kasih uang kepada mereka, dan mereka memberikan bakso terbaiknya kepada kami. Pada praktiknya memang terbaik, kami diberi bakso terbaik—baru memberi uang kepada tukang dagangnya.

Enak tidak enak, wajib bayar. Tidak bisa retur.

Kembali lagi kepada selera, tidak semua bakso yang dihidangkan adalah bakso terbaik. Tentu, saya yang bukan maniak bakso rasanya akan jauh lebih objektif jika ditugaskan menilai rasa.

Setelah puluhan bisa jadi ratusan mangkuk bakso yang saya makan, saya jadi punya trik menilai hidangan bakso.

Trik ini dapat menilai kesucian rasa bakso yang disajikan di atas mangkuk ayam jantan.

Kunci kenikmatan bakso itu ada pada kuahnya. Jadi sebelum mencampur kecap dan saus rasakan dulu kesucian kuahnya. Jika kuahnya bisa memberikan kepuasan yang hakiki, maka sudah dipastikan bakso itu enak. Ett, jangan lupa diaduk dulu agar kenikmatan serpihan micin menyatu dengan kaldu lemak sapinya.

Bagi saya, saus, kecap dan sambal ijo adalah bak gulma di ladang subur. Ngaganggu!

Saya tanya: mau makan kecap, mau makan saus atau mau makan sambal ijo? Kan, niatnya mau makan bakso bukan?

Kecap, saus, dan sambal ijo itu sudah enak dari sananya. Ketika dimasukan kedalam kuah bakso, tentu itu menodai kesuciannya. Pelanggan bakso tidak akan benar-benar menemui kenikmatan bakso. Yang ditemukan hanyalah kenikmatan kecap, saus dan sambal ijo.

Trik ini selalu saya gunakan, ketika sowan ke tukang bakso yang baru dikunjungi. Dan selalu berhasil, saya dapat menilai aneka rasa dari bakso yang disajikan. Enak dan tidak enak, hanya itu penilaiannya!

Kalau baksonya enak, nggak usah basa basi langsung santap sampai titik kuah penghabisan.

Lantas ketika rasa kuah bakso tidak enak, maka solusinya tinggal kasih kecap, kalau ada kecap Bango. Dijamin bakso makin enak! Jangan lupa tambah saus dan sambal ijo. Perpaduan ketiga komponen tersebut akan memberikan gambaran nikmatnya surga dunia yang dibuat-buat.

Yah, inilah bangsa kita. Nenek moyang pernah berkata "ketika nasi sudah menjadi bubur maka tinggal ditaburi daging ayam." Bukankah begitu?


-aasholah

Kepuh, 14052022 : 21:55


Komentar